Opini

Peranan Lembaga Keuangan Mikro Syariah dalam Peningkatan Pendapatan Petani Perdesaan

STUDI KASUS DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH


Oleh : Adistiar Prayoga (Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen BisnisInstitut Pertanian Bogor)

Esay Ide Besar Pembangun Indonesia Jilid 2 (Kumpulan Esay Forsi Himmpas Indonesia 2016)


PENDAHULUAN

Wilayah perdesaan merupakan tempat bermukim bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Data BPS (2010) menunjukkan bahwa sebanyak 119 juta jiwa atau 50,21 persen penduduk Indonesia tinggal di perdesaan. Jika dibandingkan dengan tingkat kesejahteraan dan pembangunan wilayah, kawasan perdesaan relatif masih tertinggal dibandingkan dengan perkotaan. Hal itu dapat dilihat dari sebaran jumlah penduduk miskin yang terkonsentarasi di perdesaan. Sebanyak 24,6 juta jiwa (68,14 persen) penduduk miskin tinggal di perdesaan, sedangkan sisanya sebanyak 11,5 juta jiwa (31,86 persen) berasal dari perkotaan (BPS 2010).

Sebagian besar penduduk perdesaan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian atau dengan kata lain sektor pertanian menjadi tumpuan utama. Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian merupakan penampung tenaga kerja terbesar bagi penduduk perdesaan. Pangsa tenaga kerja di perdesaan untuk sektor pertanian mencapai 67,7 persen. Sayangnya tingginya serapan tenaga kerja sektor pertanian tidak diimbangi dengan kontribusinya terhadap pendapatan nasional. Secara nasional sektor pertanian menampung 46,3 persen dari 90,8 juta penduduk yang bekerja, akan tetapi sumbangannya terhadap pembentukan PDB hanya 15 persen. Hal ini mengakibatkan produktikvitas sektor pertanian relatif rendah karena ketidakseimbangan antara kontribusi yang diberikan dengan beban jumlah penduduk yang bekerja didalamnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa sektor pertanian menjadi penyumbang penduduk miskin terbesar di Indonesia.

Bagi Indonesia, kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya. Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena kemiskinan di perdesaan atau sektor pertanian (Kementrian Pertanian 2013). Penduduk di sektor pertanian pada umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber utama pendapatannya dari sektor-sektor lainnya, terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan. Menguatnya desakan alih fungsi lahan dari pertanian menjadi non pertanian semakin menurunkan produktivitas tenaga kerja di perdesaan dengan meningkatnya rumah tangga petani gurem.

Jumlah penduduk miskin yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2012 mencapai 6.028.503 jiwa (Kementrian Pertanian 2013). Sebanyak 62,97 persen atau 3.795.976 jiwa dari jumlah tersebut bekerja pada sub sektor tanaman pangan, sedangkan sisanya, yaitu sebanyak 340.615 jiwa yang bekerja pada sub sektor hortikultura, 1.401.721 jiwa pada sub sektor perkebunan dan 490.190 orang yang bekerja pada sub sektor peternakan. Data ini menegaskan bahwa permasalahan kemiskinan pada sektor pertanian merupakan permasalahan yang penting dan perlu dicari solusinya.

Suryawati (2005) mengidentifikasi bahwa penyebab kemiskinan di Indonesia khususnya di daerah perdesaan karena keterbatasan aset yang dimiliki. Aset tersebut terbagi menjadi:

  1. Natural assets, seperti tanah dan air. Penguasaan lahan sebagian besar masyarakat perdesaan di Indonesia kurang memadai untuk menunjang penghidupan. Rata-rata kepemilikan lahan produktif petani di Indonesia hanya 0,8 ha. Jayaputra (2009) menyatakan bahwa ketergantungan terhadap lahan bagi petani di perdesaan bersifat mutlak, sedangkan jumlah lahan yang mereka kuasai terbatas. Akibatnya produksi usahatani yang dihasilkan dari lahan tersebut rendah dan berdampak pada rendahnya pendapatan petani.
  2. Human assets, menyangkut kualitas sumberdaya manusia. Jika dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, kualitas sumberdaya manusia (tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi) masyarakat perdesaan relatif lebih rendah.
  3. Physical assets, akses masyarakat perdesaan ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi relatif masih rendah.
  4. Financial assets, sebagian besar masyarakat perdesaan masih memiliki keterbatasan untuk mengakses lembaga keuangan, baik dalam bentuk tabungan (saving) ataupun pembiayaan (financing). Kelangkaan modal yang dimiliki petani dan rendahnya akses petani terhadap sumber permodalan dari luar ditengarai menjadi pemicu inefisiensi usahatani yang dijalankan (Hendayana dan Bustaman, 2007). Menurut Ashari (2006), dalam jangka panjang permasalahan ini dapat menjadi titik awal terjadinya siklus rantai kemiskinan pada masyarakat petani di perdesaan yang akan sulit untuk diputus.
  5. Social assets, dalam hal ini berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik.

Inefisensi usahatani ditengarai menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas pertanian yang kemudian berpangkal kepada kemiskinan bagi sebagian besar petani di perdesaan. Ashari (2006) menyatakan bahwa penyebab rendahnya produktivitas pertanian adalah keterbatasan modal yang dimiliki oleh petani. Ketidakmampuan petani membiayai kegiatan usahataninya dengan modal sendiri mengakibatkan ouput yang dihasilkan tidak optimal. Hal ini diperparah dengan rendahnya kemampuan petani untuk mengakses sumber pembiayaan atau permodalan dari luar, terutama yang berasal dari perbankan. Oleh karena itu, peningkatan akses petani terhadap sumber pembiayaan dari luar diharapkan dapat mengatasi permasalahan keterbatasan modal. Kondisi ini didukung dengan semakin berkembanganya lembaga keuangan mikro di perdesaan, terutama yang berbentuk lembaga keuangan mikro syariah (LKMS).

KEMISKINAN DI PERDESAAN INDONESIA DAN UPAYA PENYELESAINNYA

BPS (2010) mendefiniskan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan pangan maupun non-pangan. Sementara itu, mengacu Bappenas (2013), kemiskinan diartikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki ataupun perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Dari dua definisi tersebut, terlihat bahwasanya kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai permasalahan pada dimensi ekonomi saja, melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial dan kesetaraan hak dalam setiap aspek kehidupan.

Berbagai program pengentasan kemiskinan telah banyak dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Secara umum, program pengentasan kemiskinan tersebut terbagi ke dalam tiga cluster. Program cluster 1 bertujuan untuk mengurangi beban masyarakat miskin dalam memenuhi hak dasarnya. Pemerintah memberikan bantuan sosial seperti, jaminan kesehatan, bantuan pendidikan, dan beras untuk masyarakat miskin (raskin). Program cluster 2 bersifat pemberdayaan masyarakat. Salah satu bentuk program cluster 2 ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program cluster 3 mencakup upaya-upaya untuk memfasilitasi rakyat yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, namun masih membutuhkan bantuan untuk mengembangkan usaha dan meningkatkan akses permodalan, contahnya adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Sasaran utama (prioritas) dari berbagai program penanggulangan kemiskinan tersebut adalah untuk menurunkan tingkat kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat. Pemerintah mengklaim tingkat kemiskinan telah berhasil diturunkan dari 14,1 persen pada 2009 menjadi 11,66 persen pada September 2012 (Bappenas, 2013). Penurunan tersebut dicapai melalui perluasan penciptaan kesempatan kerja, peningkatan dan perluasan program pro-rakyat.

Berbeda dengan temuan Bappenas, realitas di lapangan menunjukkan bahwa berbagai program pengentasan kemiskinan tersebut belum sesuai dengan harapan. Penelitian Jayaputra (2009) menunjukkan bahwa secara umum program penanggulangan kemiskinan yang pernah diikuti masyarakat miskin belum memperbaiki kondisi perekonomian mereka. Sebagian besar (80 persen) responden mengaku ekonomi mereka tidak berubah dari sebelumnya, bahkan 20 persen responden menyatakan lebih buruk dari tahun sebelumnya. Lebih lanjut, Ashari (2006) mengkaji tentang program pengentasan kemiskinan yang bersifat fasilitasi modal, dimana hasilnya menunjukkan bahwa capaian dari program tersebut belum optimal. Syaukat (2011) menjelaskan bahwa salah satu penyebab ketidakberhasilan pelaksanaan berbagai program tersebut adalah adanya masalah moral hazard pada masyarakat miskin selaku penerima program. Permasalahan ini timbul karena, (1) sebagian masyarakat menganggap bahwa program pemerintah bersifat bantuan, sehingga tidak perlu dikembalikan; (2) sebagian kelompok penerima program didirikan secara mendadak, sehingga kurang memiliki pengalaman operasi yang baik; dan (3) pembagian dana program hanya terbatas pada anggota kelompok penerima bantuan.

Untuk mengoptimalkan berbagai program pengentasan kemiskinan tersebut, Jayaputra (2009) menyatakan diperlukan adanya model strategi yang berbasis institusi lokal. Pengentasan kemiskinan berbasis institusi lokal diartikan sebagai program yang bertumpu kepada kekuatan komunitas lokal dengan mengandalkan organisasi sosial yang telah ada. Tujuannya agar komunitas lokal dan tokoh masyarakat pelaku berperan aktif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Orang miskin sebagai pelaku utama dan pihak lain sebagai mitra. Partisipasi diperlukan mulai dari tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pemeliharaan. Dengan konsep ini diharapkan program tersebut dapat lebih efektif dan berdampak nyata dalam mereduksi angka kemiskinan di perdesaan.

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH BERBASIS INSTITUSI LOKAL

Lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia lebih dikenal dengan istilah Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau secara hukum disebut Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). Payung hukum dari pendirian BMT di Indonesia adalah Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No 91/Kep/MKUKM/IX/2004 tentang petunjuk pelaksanaan kegiatan usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. BMT dirancang sebagai lembaga ekonomi rakyat, yang secara konsepsi dan secara nyata lebih fokus kepada masyarakat bawah, yang miskin dan nyaris miskin. Agenda kegiatannya yang utama adalah pengembangan usaha mikro dan usaha kecil, terutama melalui bantuan permodalan. Untuk melancarkan usaha pembiayaan tersebut, maka BMT berupaya menghimpun dana, yang terutama sekali berasal dari masyarakat lokal di sekitarnya (Buchori 2012). Dengan kata lain, BMT pada prinsipnya berupaya mengorganisasi usaha saling tolong menolong antar-warga masyarakat suatu wilayah (komunitas) dalam masalah ekonomi.

BMT di perdesaan pada umumnya berawal dari gagasan-gagasan kelompok pengajian, tokoh agama di suatu daerah, atau bentuk amal dari organisasi masa (ormas) Islam di Indonesia seperti Nahdhatul Ulama (berdiri pada 31 Januari 1926) dan Muhammadiyah (berdiri pada 18 November 1912). Kekuatan BMT yang berbasis ormas (walapun tidak selalu mengatasnamakan ormas) adalah cepatnya pertumbuhan lembaga keuangan mikro tersebut. Adanya ikatan sosial yang tertanam kuat di masyarakat merupakan alasannya. Harian Republika (16/07/2010) melaporkan bahwa hingga medio 2010 terdapat dua jaringan BMT terbesar di Indonesia, yakni jaringan BMT Sidogiri milik pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama yang memiliki sekitar 80 cabang dengan nasabah lebih dari 100.000 orang dan jaringan BMT Bina Usaha Sejahtera (BUS) milik organisasi Muhammadiyah dengan sekitar 80 cabang serta 80.000 nasabah. Sampai dengan tahun 2013, Asosiasi BMT Indonesia (Absindo) mencatat jumlah BMT di Indonesia sebanyak 5.500 unit yang mampu melayani 10 juta nasabah atau anggota. Sebaran BMT tersebut sebagian besar berada di wilayah perdesaan.

Secara prinsip, BMT memiliki dua peran penting yang saling menunjang, yaitu kepentingan sosial (baitul maal) dan kepentingan bisnis (baitut tamwil). Sebagai Baitul Maal, BMT menerima titipan zakat, infaq, dan shadaqah serta menyalurkan (tasaruf) sesuai dengan peraturan dan amanahnya.  Sedangkan sebagai Baitut Tamwil, BMT bergiat mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pelaku usaha kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonomi.

PERAN BMT DALAM MENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI SEBAGAI UPAYA PENGENTASAN KEMISKINAN: STUDI KASUS DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH

Kehadiran BMT di Kabupaten Lampung Tengah mendapatkan respon yang positif dari masyarakat. Hasil studi lapangan Yoko (2014) menunjukkan bahwa, hingga tahun 2013 tercatat 40 unit BMT di Kabupaten Lampung Tengah dengan jumlah anggota lebih dari 20 ribu orang. Dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, pertumbuhan aset BMT di Lampung Tengah menunjukkan trend yang positif. Dimana sampai tahun 2013, jumlah aset BMT di Lampung Tengah mencapai mencapai Rp 255.08 Milyar (Puskopsyah 2013).

Produk layanan BMT di Kabupaten Lampung Tengah secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pendanaan (simpanan) dan pembiayaan. Produk simpanan sebagian besar menggunakan akad mudharabah (simpanan bagi hasil) dan wadhiah (simpanan berupa titipan dana). Sedangkan untuk produk pembiayaan, akad yang diterapkan lebih beragam, seperti murabahab (jual-beli), ijaroh (sewa-meyewa), mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kerja sama) dan qardhul hasan (pinjaman kebaikan).

Salah satu BMT terbesar dengan kesehatan yang prima di Kabupaten Lampung Tengah adalah BMT Surya Abadi. Selama 13 tahun beroperasi BMT Surya Abadi menunjukkan pertumbuhan yang optimis. Hal itu dapat dilihat dari peningkatan kantor layanan, jumlah anggota, simpanan anggota, pembiayaan, dan aset. Pada saat ini BMT Surya Abadi telah memiliki 8 kantor layanan yang tersebar di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur. Jumlah anggota BMT Surya Abadi sampai dengan Desember 2013 mencapai 15.868 orang dengan jumlah simpanan anggota sebesar 29,7 Milyar. Pembiayaan yang berhasil disalurkan sampai dengan tahun 2013 meningkat sebesar 23,3 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Total pembiayaan yang disalurkan sebesar 33,8 Milyar, yang didominasi pembiayaan pada sektor pertanian (Gambar 1). Pertumbuhan aset pun cukup menggembirakan. Aset BMT Surya Abadi tumbuh sebesar 36,3 persen, dimana pada saat ini aset yang berhasil dibukukan mencapai 55 Milyar. Selain itu, nilai ratio pembiayaan macet atau non performing financing (NPF) pun menunjukkan angka yang rendah, yaitu 1.7 persen.

Gambar 1. Outstanding pembiayaan BMT Surya Abadi berdasarkan sektor usaha

2

 Sumber: BMT Surya Abadi 2013

Gambar 1 memperlihatkan bahwa pembiayaan di sektor pertanian memiliki porsi terbesar dibandingkan sektor lain. Aplikasi akad yang mendominasi dari pembiayaan pertanian adalah murabahah, yaitu dalam bentuk pembelian input produksi, seperti pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja. Total oustanding pembiayaan sektor pertanian mencapai 23,69 Milyar, dimana subsektor tanaman ubi kayu menempati posisi teratas dengan jumlah oustanding 15,14 Milyar kemudian diikuti tanaman padi dengan 2,75 Milyar, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah debitur dan pembiayaan sektor pertanian BMT Surya Abadi

Sektor Usaha Pertanian JumlahKreditur (orang) JumlahPembiayaan (Rp) Presentasi (%)
Cabai 38 384,524,000 1.62
Jagung 80 873,035,552 3.68
Kakao 2 10,000,000 0.04
Karet 59 770,630,994 3.25
KelapaSawit 5 84,200,000 0.36
Padi 389 2,752,848,393 11.62
Sayuran 61 464,292,000 1.96
Semangka 37 387,283,000 1.63
Ubikayu 1,710 15,140,820,554 63.89
Unggas 30 569,515,000 2.40
Kambing 21 238,913,000 1.01
Sapi/Kerbau 46 758,987,000 3.20
PerikananBudidaya 60 1,012,956,000 4.27
Udang 4 59,455,000 0.25
Lainnya 11 189,040,000 0.80
Jumlah 2,553 23,696,500,493 100.00

Sumber: BMT Surya Abadi 2013 dalam Yoko (2015)

Berdasarkan data pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa sektor pertanian merupakan primadona bagi BMT Surya Abadi. Hal ini tentu dipengaruhi oleh faktor dominasi sektor pertanian sebagai sektor perekonomian utama di Lampung Tengah. Data dari Puskopsyah Lampung (2013) menunjukkan bahwa rata-rata penyaluran pembiayaan pertanian oleh BMT bagi sektor pertanian di Kabupaten Lampung Tengah mencapai 67 persen. Pembiayaan tersebut digunakan oleh petani sebagai modal untuk pembelian berbagai input usahatani, seperti pupuk dan pembayaran tenaga kerja.

Pembiayaan yang diterima oleh petani dari BMT diarahkan sebagai pembiayaan produktif untuk memperkuat permodalan. Dengan adanya pembiayaan ini diharapkan petani mampu meningkatkan penggunaan input produksi menjadi lebih efisien, sehingga produksi dan produktivitas usahatani dapat meningkat dan pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatannya. Untuk melihat peranan dari pembiayaan pertanian BMT terhadap peningkatan pendapatan petani dilakukan analisis perbandingan pendapatan antara petani yang mengakses pembiayaan dari BMT dan petani yang tidak mengakses pembiayaann dari BMT. Analisis ini menggunakan data lapangan dari Yoko (2015), dimana petani yang dijadikan sampel adalah petani padi di Lampung Tengah.

Hasil analisis keuntungan usahatani padi antara dua kelompok responden, yaitu petani yang mengakses dan tidak mengakses pembiayaan dari BMT disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa penerimaan yang diperoleh petani yang mendapatkan pembiayaan dari BMT lebih besar dibandingkan petani yang tidak memperoleh pembiayaan. Jika dilihat dari struktur biaya, tenaga kerja merupakan komponen biaya terbesar dari usahatani padi, yaitu mencapai 64,02 persen. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi di Lampung Tengah masih sarat tenaga kerja (labour intensive). Berdasarkan hasil analisis, keuntungan rata-rata per hektar yang diperoleh petani penerima pembiayaan dari BMT sebesar Rp 10.465.787,14. Nilai keuntungan ini lebih besar jika dibandingkan petani yang tidak menerima pembiayaan. Hasil analisis R/C ratio pun menunjukkan hal serupa. Nilai R/C ratio untuk petani yang memperoleh pembiayaan lebih tinggi dibandingkan petani yang tidak memperoleh pembiayaan. Hasil ini menunjukkan bahwa petani yang memperoleh pembiayaan dari BMT memiliki kemampuan manajerial yang cukup baik, terutama yang terkait dengan pengelolaan modal usahatani. Dengan adanya tambahan modal petani mampu meningkatkan produksi usahataninya sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan.

Tabel 2. Analisis Pendapatan Usahatani Padi per Hektar di Kabupaten Lampung Tengah Tahun 2014

Uraian Pembiayaan BMT Non Pembiayaan
Rata-rata (Rp/ha) Rata-rata (Rp/ha)
Penerimaan 19,761,617.65 18,739,010.99
Total Biaya Tunai 6,598,148.93 6,575,043.94
Total Biaya Diperhitungkan 2,697,681.58 2,773,610.88
Total Biaya 9,295,830.51 9,308,654.82
Keuntungan atas Biaya Tunai 13,163,468.72 12,163,967.04
Keuntungan atas Biaya Total 10,465,787.14 9,430,356.17
R/C atas biaya tunai 2.99 2.85
R/C atas biaya total 2.12 1.98

Sumber :Yoko (2015), diolah

Dari temuan tersebut, terlihat bahwa keberadaan dan pertumbuhan BMT di Kabupaten Lampung Tengah memiliki pengaruh yang positif dalam meningkatkan pendapatan petani. Di sisi lain, BMT sebagai lembaga keuangan yang menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani tetap memperoleh keuntungan serta dapat tumbuh dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan aset maupun unit layanan. Kondisi ini menjadi fakta menarik sekaligus pembuktian bahwa sektor pertanian tetap dapat mendatangkan keuntungan bagi lembaga keuangan yang terlibat di dalamnya. Selain itu, kinerja BMT khususnya pada sektor pertanian di Lampung Tengah menjadi antitesis dengan berbagai pernyataan yang menyatakan bahwa sektor pertanian tidak mampu memberikan keuntungan bagi lembaga keuangan karena anggapan sektor pertanian memiliki risiko yang tinggi (high risk) serta petani selaku objek tidak memenuhi persyaratan (unbankable).

PENUTUP

            Perkembangan BMT di Indonesia, baik dilihat dari jumlah (unit) maupun aset menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. BMT memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang di tengah masyarakat perdesaan, bahkan pada masa yang akan dating diharapkan dapat menjadi referensi sumber permodalan utama dan penggerak aktivitas perekonomian masyarakat perdesaan. Dari studi kasus di Kabupaten Lampung Tengah dapat disimpulkan bahwa pembiayaan yang diperoleh petani dari BMT mampu meningkatkan pendapatan usahataninya. Akses pembiayaan dapat memperkuat sisi permodalan petani, sehingga jumlah dan kualitas input usahatani yang digunakan dapat diperbaiki. Perbaikan kualitas dan kuantitas input akan mendorong peningkatan produksi. Pada asumsi tingkat harga yang sama, peningkatan produksi dari petani yang mengakses pembiayaan dari BMT akan mengakibatkan mereka memperoleh pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani yang tidak mengakses pembiayaan.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, dapat disampaikan beberapa saran, yaitu:

  1. Upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat di awali dari peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan. Oleh karena itu, perlu dirancang strategi khusus terkait daya saing industri BMT sebagai lembaga pembiayaan mikro di perdesaan Indonesia. Program dan kegiatan dari rancangan strategi tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan bertahap (sustainable development) sesuai tipologi perdesaan di Indonesia
  2. Untuk merealisasikan upaya pembangunan industri keuangan yang berkelanjutan, khususnya untuk lembaga keuangan mikro perdesaan, diperlukan kemitraan yang terintegrasi antara pemerintah dan swasta sebagai pelaku bisnis (investor). Program yang disusun hendaknya mampu menguntungkan swasta sehingga menjadi bisnis yang prospektif namun tetap memiliki eksternalitas positif jangka panjang khususnya bagi masyarakat petani di perdesaan, hingga tahap terbentuknya rantai nilai (shared value) perusahaan.
  3. Perlu pengkondisian, komitmen, dan konsistensi terhadap kepentingan jangka panjang antara para pihak yang terkait, mulai dari pengelola BMT, Asosiasi BMT, organisasi kemasyarakatan, pusat pengembangan keilmuan (perguruan tinggi), pemerintah, serta pihak-pihak lainnya sebagai pemangku kepentingan (stakeholders).

 

KEPUSTAKAAN

Ashari. 2006. Potensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Dalam Pembangunan Ekonomi Pedesaan dan Kebijakan Pengembangannya. PSEKP. 4(2):146-164.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2010 Analisis Kemiskinan, Ketenagakerjaan dan Distribusi Pendapatan. Jakarta: BPS.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2013. Evaluasi Paruh Waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 -2014. Jakarta: Bappenas.

Buchori NS. 2012. Koperasi Syariah. Tangerang Selatan: Pustaka Aufa Media.

Hendayana R, Bustaman S. 2006. Fenomena Lembaga Keuangan Mikro Dalam Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan. [Working Paper]

Pusat Koperasi Syariah Lampung (Puskopsyah). 2013. Daftar Anggota Puskopsyah Lampung. Metro: Puskopsyah.

Syaukat Y. 2011. Mengembangkan Pembiayaan Syariah Pertanian. http://repository.ipb.ac.id/handle/123456 789/53629. [22 Jul 2013].

Kementrian Pertanian. 2013. Analisis Pendududk dan Kemiskinan Sektor Pertanian. Jakarta: Kementerian Pertanian.

Suryawati, C. 2005. Memahami Kemiskinan Secara Multidimensi. Jurnal Agroekonomi Vol. 08(03) September 2005

Jayaputra, A. 2009. Pemetaan Kemiskinan dan Strategi Pengentasannya Berbasis Institusi Lokal dan Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah di Provinsi Sumatera Barat. [Working Paper]

Yoko, Budi. 2015. Akses Petani Pada Pembiayaan Pertanian Mikro Syariah dan Pengaruhnya terhadap Efisiensi Usaha Tani Padi di Kabupaten Lampung Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Berbagi Informasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.