Opini

Revisi UU KPK, Kemerdekaan bagi Koruptor

(Oleh Syarah Nurhayati, Alumni Mahasiswi Hukum Universitas Riau)


“Semakin tinggi pohon, maka semakin kencang pula anginnya”pepatah ini sangat cocok sekali jika disandingkan dengan kondisi KPK saa tini. Bagaimana tidak, kita sama-sama tahu bahwa kinerja KPK beberapa tahun terakhir tengah menunjukkan hasil yang tidak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan telah tertangkapnya para koruptor dari kalangan politisi yang sangat luar biasa merugikan keuangan Negara.

Keputusan untuk merevisi UU KPK merupakan keputusan yang menghianati hati rakyat indonesia. Hal ini pasalnya, jika kita lihat sejarah korupsi yang terjadi di Indonesia merupakan kondisi yang sangat kelam bagi rakyat indonesia. Lihat saja pada masa pemerintahan orde baru yang terkenal dengan kasus korupsi luar biasayang melibatkan keluarga presiden dan sangat sulit untuk diselesaikan bahkan sampai saat ini. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Bung Hatta mantan wakil presiden pertama RI, pada awal masa pemerintahan orde baru, bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda.  Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda.

Lahirnya KPK dimasa reformasi telah memberikan angin segar dan harapan baru bagi masyarakat indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman para koruptor. KPK sendiri dalam perjalanannya telah menempuh jalan yang terjal. Tidak sedikit pihak yang mencoba melemahkan kinerja KPK dan menghalangi langkah KPK dalam memberantas korupsi. Sebut saja kasus Cicak VS buaya  yang mampu membuat perhatian para pengamat tertuju pada masalah ini.

Kasus Cicak VS Buaya, dapat dinilai sebagai upaya awal dari beberapa pihak untuk melemahkan tugas dan fungsi KPK. KPK sebagai lembaga eksaminatif memang memiliki kewenangan yang sangat luar biasa dalam upaya pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam UU No. 30 tahun 2002, walaupun pada kenyataannya kewenangan KPK yang sedemikian besar dalam pemberantasan korupsi masih belum sesuai dengan semangat yang melatarbelakangi lahirnya UU tersebut. Selain kasus Cicak Vs buaya yang menurut penullis telah menjadikan citra KPK menurun, kasus yang menerpa para pimpinan KPK juga tak kalah hebatnya menurunkan integritas KPK dimata masyarakat.

Namun demikian, bak kata pepatah, untuk mendapatkan hasil yang bagus memang harus melalui proses yang sangat sulit. Begitu juga dengan KPK. Kita sama-sama tahu bahwa KPK  dibentuk dengan semangat yang murni untuk memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia. Namun, setiap niat mulia pasti tidak mulus jalannya. Banyak pihak-pihak yang dengan semangat memperkaya dirinya sendiri atau dapat dikatakan memiliki bakat untuk korupsi lantas menghalang-halangi niat baik tersebut. Mari kita lihat kembali sejarah korupsi di indonesia. Dengan direvisinya UU KPK yakni UU nomor 30 tahun 2002 menandakan‘lampu merah’ untuk kegiatan pemberantasan korupsi di indonesia. Pasalnya bisa kita lihat bahwa draf RUU revisi tersebut menyatakan pemangkasan sebagian besar kewenangan yang dimiliki oleh KPK bahkan dapat dikatakan membunuh eksistensi KPK di Indonesia. Hal ini dikarenakan dalam draf RUU tersebut memuat, Pertama, membatasi umur KPK hanya sampai 12 tahun. Bisa kita bayangkan bahwa dengan dibatasinya usia KPK selama 12 tahun itu berarti bahwa pemerintah bermaksud menghilangkan keberadaan KPK dalam sistem tata negara Indonesia. Hal ini tentu sangat berbahaya, karena dengan adanya KPK saja tindak pidana korupsi di Indonesia masih merajalela apalagi dengan dihapuskannya keberadaan KPK maka nantikanlah kondisi Indonesia akan kembali pada periode kelam era orde baru. Kedua, mengurangi kewenangan penindakan dan menghapus upaya penuntutan KPK. Hal ini berarti dimasa depan KPK hanya memiliki kewenangan yang sangat minim dalam penyidikan dan tidak memiliki kewenangan sama sekali dalam upaya penuntutan.

Dengan kewenangan yang dimiliki oleh KPK saat ini saja masih banyak pihak-pihak yang hendak menghalangi prosesnya, lantas jika RUU tersebut di sahkan maka kemerdekaanlah bagi para koruptor kelas kakap di luar sana.Ketiga, KPK coba diubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi. hal ini bermakna bahwa KPK hanya di setting untuk upaya pencegahan, bukan penindakan. Hal ini tentu sangat tidak logis jika dihubungkan dengan cita-cita pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena tindak pidana di Indonesia sudah bukan lagi kasus yang dapat ditangani degan cara pencegahan, namun kasus korupsi di indonesia sudah merupakan kejadian yang merajalela dan membutuhkan penanganan yang berupa pemberantasan. Jadi, upaya revisi RUU KPK ini menurut penulis hanyalah upaya emosional beberapa oknum yang risih dengan keberadaan KPK dalam sistem tata negara di Indonesia.

Sudah hampir 15 tahun KPK mengabdi memberantas korupsi untuk negeri ini. Tidak ada salahnya jika kita memberikan kesempatan sedikit lama kepada KPK untuk menunjukkan eksistensinya dalam memberantas korupsi di Indonesia tanpa harus mengamputasi kewenangan yang dimilikinya. Seharusnya pemerintah lebih fokus dalam mengawal gerakan pemberantasan korupsi tersebut, dan DPRRI lebih fokus terhadap RUU yang lebih prioritas untuk disahkan. Karena bangsa ini masih membutuhkan banyak solusi untuk setiap permasalahan yang ada. Akan lebih efisien jika pembaasan RUU KPK dibatalkan, karena saat ini solusi terbaik dalam pembeantasan masalah korupsi masih lebih bagus dilakukan oleh KPK ketimbang aparat penegak hukum yang lainnya. Untuk itu yang perlu dilakukan hanyalah mengawal kinerja KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di indonesia. Jangan biarkan Revisi UU KPK tersebut mengantarkan kembali bangsa ini pada kesengsaraan, dan memberi kemerdekaan bagi para koruptor.

Berbagi Informasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.