Opini

Esensialitas Pesantren dalam Pembangunan Agroekonomi Desa

Oleh: Adistiar Prayoga (Wakil Ketua Umum Himmpas IPB 2015)


Pesantren diartikan sebagai tempat pendidikan untuk menjadi manusia yang sebaik-baiknya, sebagaimana asal mula kata “santri” yang didefinisikan sebagai manusia penolong (Zarkasy 1998). Lebih spesifik, Nasir (2005) mengartikan pesantren sebagai lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ajaran Islam. Zarkasyi (1998) mengatakan bahwa secara umum pesantren sebenarnya murni berasal dari tradisi Islam, yakni sistem terekat dalam aliran teologi Islam. Sebagian yang lain berpendapat bahwa pola pesantren merupakan akulturasi kebudayaan Hindu-Budha-Islam di Indonesia. Kata santri berakar dari bahasa Sansekerta yakni shastra (Dhofier 1983). Berdasarkan akar kata tersebut, dikenal bentuk persona shastri yang berarti seorang cerdik cendekia dengan ketrampilan utama membaca dan menulis. Selanjutnya,  shastri dilafalkan dengan kata santri serta pondokan tempat belajar santri disebut (pondok) pesantren.

Pesantren telah muncul di Indonesia sejak abad ke-18. Institusi pendidikan ini merupakan bagian dari kearifan lokal bangsa. Pesantren berperan dalam penanaman nilai sehingga terjadi perubahan sosial pada masyarakat menuju ke arah yang berkemajuan. Snouck Hurgronje (sejarawan dan penasihat politik pemerintah kolonial Belanda) berpendapat, terjadi peningkatan jumlah pesantren di Jawa setelah banyak orang yang pulang dari ibadah haji (Sayono 2005). Hal ini dituangkan dalam disertasi Snouck yang berjudul Het Mekkaansche Feest (The Mecca Festival). Pada masa lampau, kepergian umat Islam ke tanah suci, bukan sekedar untuk menyempurnakan rukun Islam, namun juga menimba ilmu kepada para ulama nusantara yang ada di Haramain. Mereka menghabiskan waktu 2-3 tahun untuk menuntut ilmu, kemudian pulang kembali ke nusantara guna menyebarluaskan ilmu tersebut sekaligus membawa semangat perjuangan melawan kolonialisme dan penindasan. Sebagaimana diketahui, terdapat 3 ulama nusantara (Hindia-Belanda) yang pernah menjadi imam utama Masjidil Haram Makkah. Mereka adalah guru besar bagi para jamaah haji kala itu, yakni Syaikh Junaid al-Betawi, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, dan Syeikh Ahmad Khattib al-Minangkabawi. Tercatat bahwa dua tokoh utama pendiri organisasi kemasyarakatan Islam yang selanjutnya merupakan induk dari mayoritas pesantren di Indonesia, yakni KH. Ahmad Dahlan (mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912) dan KH. Hasyim Asy’ari (mendirikan Nahdhatul Ulama pada 31 Januari 1926) pernah belajar bersama dalam bimbingan Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani dan Syeikh Ahmad Khattib al-Minangkabawi.

Informasi sejarah menunjukkan bahwa perkembangan sistem pesantren di Jawa bermula dari Jawa Timur. Kurang lebih sejak masa-masa akhir pemerintahan kerajaan Majapahit (sekitar 1421). Pusatnya bertempat di kawasan Ampeldenta, (kadipaten) Surabaya (Sayono 2005). Namun, menurut van Bruinessen (1999) pesantren pertama yang berdiri di Jawa Timur adalah Pesantren Tegalsari di Pacitan yang didirikan pada 1710. Mas’udi (1986) mencatat bahwa beberapa pesantren ternama di Jawa Timur telah berdiri sejak pertengahan abad 18 dan 19. Pesantren tersebut adalah Sidogiri Pasuruan (1745; catatan lain mennyebutkan 1718), Panji Siwalan Sidoarjo (1770), Tremas Pacitan (1830), Langitan Tuban (1852), Jampes Kediri (1886), Guluk-Guluk Sumenep (1887), dan 2 pesantren yang tidak diketahui pasti tahun berdirinya namun telah ada sejak abad 19 adalah Pademangan Bangkalan dan Maskumambang Gresik. Tradisi intelektual yang berkembang di dalam pesantren telah melahirkan suatu komunitas yang memiliki paham pemikiran agama yang sama (Sayono 2005). Hal ini mendorong munculnya gerakan sosial yang menghadirkan tokoh-tokoh pelopor dalam pergerakan nasional untuk kemerdekaan Indonesia; baik dalam kancah sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Pangeran Diponegoro, KH Wahab Hasbullah, KH Mas Mansyur, Buya Hamka, dan KH Wachid Hasyim adalah sebagian kecil diantara senarai panjang nama-nama ‘besar’ tokoh pergerakan berlatar belakang pesantren. Direktori Pondok Pesantren (2009) menyebutkan bahwa terdapat 5,025 pondok pesantren di Jawa Timur. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 6,003 pesantren atau 22.05 persen dari jumlah pesantren di Indonesia pada tahun 2019. Dari jumlah tersebut, saat ini terdapat 2,125 pesantren bertipe salafafiyah (metode pengajaran tradisonal) yang pada umumnya memiliki akar sosial lebih kuat.

Efendi (2016) menjelaskan bahwa pesantren merupakan ceruk pengembangan ekonomi perdesaan karena lembaga pendidikan tertua di Indonesia ini tumbuh dari kehendak masyarakat dan merupakan produk sejarah yang telah berdialog dengan zaman secara sosiopolitik, sosiokultural, dan sosio-ekonomi. Hal ini menumbuhkan ikatan sosial yang harmonis. Keterikatan pesantren dengan sektor pertanian sudah tercermin sejak lama, sebagaimana pendapat KH. Hasyim Asy’ari dalam Amalil Khutaba (Sahal 2012) bahwa:

Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ tani itoelah penolong negeri apabila keperloean menghendakinja dan di waktoe orang pentjaritjari pertolongan. Pa’ tani itoe ialah pembantoe negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan pa’ tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”

Pada 1944, KH. Hasyim Asy’ari juga masyhur dengan tulisannya di topik khusus Majalah Soera Moeslimin (No.2 Tahun ke-2, 19 Muharam 1363) tentang pertanian dengan judul “Keoetamaan Bertjotjok Tanam dan Bertani, Andjoeran Memperbanyak Hasil Boemi dan Menjoeboerkan Tanah, Andjoeran Mengoesahakan Tanah dan Menegakkan Ke’adilan”. Tujuan berdirinya organisasi kemasyarakatan Nahdhatul Ulama pun tak lepas dari sektor pertanian, sebagaimana disebutkan dalam salah satu asasnya, yakni “Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan persahabatan yang tiada dilarang syara’ agama Islam” (Sahal 2012).

Meski usai diwacanakan jauh hari, namun sistem pendidikan di pesantren yang terintegrasi dengan program pemberdayaan, khususnya di sektor pertanian belum banyak tercatat. Satu yang terkenal adalah Pondok Pesantren Darul Fallah Bogor (berdiri 9 April 1960). Pesantren yang secara harfiah berarti “rumah petani” ini memang dibangun untuk melatih ketrampilan santrinya di bidang pertanian. Di pesantren lain, program pendidikan ketrampilan yang ada hanya bersifat insidental, belum tersusun rapi secara khusus. Padahal, sejak tahun 2000 pendidikan ketrampilan telah menjadi kurikulum yang integral dalam kurikulum pendidikan pesantren, sebagaimana telah diterapkan di beberapa pesantren seperti Pesantren Langitan Tuban, Termas Pacitan, dan Miftakhul Ulum Lumajang di Jawa Timur (Muchsin et al. 2009). Ketrampilan bercocok tanam, baik dari sisi teknik maupun manajemen secara mendasar boleh dikata sebagai modal dasar dalam dakwah bil haal (seruan kebaikan dengan kerja nyata di sektor kehidupan) untuk masyarakat agraris.

Jika dikaitkan secara khusus dengan kondisi Jawa Timur yang notabene tempat mula pesantren mengakar, pola terkait antara sistem pendidikan ma’hadiyah (kepesantrenan) dan fallahiyah (pertanian) hendaknya perlu dikaji secara berkelanjutan dan segera diaplikasikan. Jawa Timur memiliki letak strategis bagi industri, perdagangan, maupun pertanian. Secara geostrategis, Jawa Timur terletak di antara 2 provinsi besar yakni Jawa Tengah dan Bali. Dari sisi geografis, merupakan daerah pertanian yang baik dengan tanah aluvial karena dilintasi oleh 2 sungai besar yakni sungai Brantas dan Bengawan Solo. Jawa Timur juga kaya akan tanah vulkanik yang subur, karena terletak di rangkaian sirkum Mediteran, hingga kini terdapat 13 gunung berapi yang masih aktif. Potensi ini menjadikan Jawa Timur sebagai salah satu sentra pangan Indonesia, khususnya tanaman padi, jagung, dan kedelai. Berdasar data Puslitbang pertanian (2014), Jawa Timur menyumbang 17.50 persen produksi padi (tertinggi setelah Bali), 30.14 persen produksi jagung (tertinggi di Indonesia), dan 37.26 persen produksi kedelai nasional (tertinggi di Indonesia).

Seakan kontras dengan hal di atas, Jawa Timur masih dihadapkan pada permasalahan klasik petani. Kemiskinan petani gurem, inefisiensi produksi karena sempitnya penguasaan lahan oleh petani serta keterbatasan akses permodalan. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur (2009) mencatat bahwa luas lahan di Jawa Timur secara keseluruhan adalah 4,656,757 hektar (ha) dengan komposisi, lahan sawah seluas 1,168,653 ha, lahan bukan sawah seluas 1, 842,257 ha dan lahan bukan pertanian seluas 1,645,847 ha. Luas lahan pertanian yang dikuasai petani adalah 20,037,89 ha (54.21 persen) dengan jumlah rumah tangga petani gurem sebanyak 3,403,478 kepala keluarga, dimana rata-rata pemilikan lahan tiap kepala keluarga hanya 0.36 ha. Minimnya akses permodalan di sektor pertanian adalah kendala lain setelah sempitnya penguasaan lahan. Hal ini menimbulkan desakan petani kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk segera merealisasikan Bank Perkreditan rakyat Jawa Timur (Antara Jatim 4 Juni 2014). Kondisi tersebut menjadi faktor yang diperkirakan menyumbang terus bertambahnya jumlah penduduk miskin di Jawa Timur, khususnya pada profesi tani di perdesaan. BPS Jatim (2015) melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada bulan Maret 2015 mengalami kenaikan sebesar dibandingkan 0,06 poin, yakni dari 12,28 persen pada September 2014 menjadi 12,34 persen pada Maret 2015. Kesenjangan kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Hal ini dipicu oleh tingginya inflasi sehingga berdampak pada kenaikan sebagian harga kebutuhan di tingkat perdesaan (BPS Jatim 2015). Pihak yang paling merasakan dampaknya adalah para petani. Sektor pertanian merupakan tumpuan masyarakat di perdesaan Jawa Timur, dengan serapan tenaga kerja sebesar 59 persen (PPK-LIPI 2013). Di daerah kantong-kantong kemiskinan Jawa Timur, mayoritas penduduk berprofesi sebagai petani. Kabupaten Sampang dan Pacitan misalnya, daerah tersebut menyerap lebih dari 70 persen tenaga kerja ke sektor pertanian, adapun jumlah penduduk miskinnya melibihi 30 persen.

Hendaknya pesantren (kembali) hadir menjadi bagian dari solusi atas permasalahan sosio-ekonomi tersebut. Kelebihan pesantren di masyarakat agraris adalah kepemilikan modal sosial berupa kepercayaan dari masyarakat (ketokohan kiai). Pesantren juga mewariskan social capital kepada para santri seperti: (1)ikatan kuat nilai moralitas, (2)kemandirian, (3)sikap kerelaan untuk berkorban, dan (4)corak paguyuban (gemeinschaft) antarsantri. Maka dari itu, pesantren (secara esensial) mampu menjadi ‘ujung tombak’ dalam dakwah bil haal bil iqtishadiyah (dakwah di sektor ekonomi) untuk pembangunan agroekonomi desa. Eksistensi Baitul Maal wat Tamwil yang diinisiasi oleh pesantren-pesantren di Jawa Timur (BMT UGT Sidogiri misalnya) secara tak langsung memang sudah memberikan jawaban atas kendala keterbatasan aksesbilitas permodalan usahatani. Keberhasilan ini seyogyanya dilanjutkan dengan: (a)perancangan sistem pendidikan yang terintegrasi dengan menjadikan pertanian sebagai salah satu materi utamanya dengan pesantren sebagai laboratorium, (b)pesantren sebagai pusat inkubasi agribisnis, (c)pesantren sebagai mediator antarsumberdaya produksi yang boleh jadi hingga kini masih terdapat kesenjangan yang tinggi, dimana penguasaan pasar hanya dimiliki oleh sebagian golongan saja. Penambahan peran konkrit pesantren melalui santri dan jaringan alumninya diharapkan akan berkontribusi dalam pemembentukan sistem rantai nilai (shared value) antar unit usahatani yang telah ada di masyarakat. Dengan terbentuknya rantai nilai, inefisiensi produksi akan dapat direduksi dan output usahatani mikro dan kecil tentunya akan semakin meningkat. Jadi, apakah sektor pertanian masih dipandang vital dan strategis? Semoga.


*Bagian dari makalah yang dipresentasikan oleh penulis dalam “Bank Indonesia 3rd East Java Economic Forum 2016”, 1 November 2016, bertajuk “Menakar Arah Perkembangan Perekonomian Jawa Timur Dekade Mendatang”.


Referensi:

[Antara Jatim] Kantor Berita Antara Provinsi Jawa Timur. 2014. Petani Jawa Timur Desak Pemerintah Dirikan BPR Pertanian, berita tanggal 4 Juni 2014. [internet]. [Diunduh 2016 Maret 25]. [Tersedia pada http://www.antarajatim.com/lihat/berita/134284/petani-jawa-timur-desak-pendirian-bprpertanian].

[BPS Jatim] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2015. Profil Kemiskinan di Jawa Timur Maret 2015. [internet]. [Diunduh 2016 Oktober 10]. [Tersedia pada 10 Oktober 2016, http://jatim.bps.go.id/4dm!n/brs_ind/brsInd-20150915125127.pdf].

Dhofier Z. 1983. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta [ID]: LP3.

Efendi J. 2016. Ceruk Pengembangan Ekonomi Masyarakat. Tamkinia Iqtishoduna Republika. [internet]. [Diunduh 2016 Oktober 10]. [Tersedia pada http://www.republika.co.id/berita/koran/iqtishodia/16/07/29/ob0rs710-tamkinia-cerukpengembangan-ekonomi-masyarakat].

Mas’udi MF. 1986. Direktori Pesantren. Jakarta [ID]: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Muchsin BM, Gani YA, Islami MI. 2009. Upaya Pondok Pesantren Dalam Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan. Jurnal Wacana, Jurnal Sosial dan Humaniora [12] 2: 376-401.

[PPK-LIPI] Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2013. Sektor Ekonomi Unggulan dan Kemiskinan di Jawa Timur. [internet]. [Diunduh 2016 Oktober 10]. [Tersedia pada http://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-kependudukan/ketenagakerjaan/67-sektor-ekonomi-unggulan-dan-kemiskinan-di-jawa-timur].

Sahal H. 2012. KH Hasyim Asyari: Pak Tani itulah Penolong Negeri. [internet]. [Diunduh 2016 Oktober 12]. [Tersedia pada http://www.nu.or.id/post/read/36124/kh-hasyim-asyari-pak-tani-itulah-penolong-negeri].

Sayono J. 2009. Perkembangan Pesantren Di Jawa Timur (1900-1942). [internet]. [Diunduh 2016 Oktober 12]. [Tersedia pada http://sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/Perkembangan-Pesantren-di-Jawa-Timur-1900-1942-Joko-Sayono.pdf].

Zarkasyi AF. 1998. Pondok Pesantren Sebagai Lembaga. Pendidikan dan Dakwah. Jakarta[ID]: GIP6.

Berbagi Informasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.