Kabar Forsi Himmpas

Ridha Allah dan Manusia

Oleh: Buya Hamka*)


Manakah yang kita cari, ridha Allah atau ridha manusia? Jawabnya tentu saja ridha Allah, karena manusia dijadikan untuk menyembah-Nya, taat dan patuh mengikuti perintah-Nya. Kebaikan dan keberuntungan hidup hanya bergantung kepada-Nya.

Sebab itu segala kehidupan seorang mukmin adalah mencari keridhaan Tuhan, bukan mencari keridhaan manusia, meskipun lantaran hal tersebut seluruh manusia bisa jadi akan marah dan benci kepadanya, bahkan meskipun dia disakiti dan dianiaya. Dalam upaya mencari ridha Allah, janganlah dipusingkan setiap kehendak dan keinginan manusia, karena kesukaannya adalah sebanyak kepalanya, yang ini meminta begini, yang itu lain lagi, sehingga kalau itu yang kita ikuti, perlu menyediakan kepala untuk berpikir sebanyak kepala mereka itu pula. Setiap orang ingin mempengaruhimu, lidahmu, tanganmu, hatimu, otakmu, semuanya ingin mereka pengaruhi.

Apakah akan kita ikuti kemauan mereka? Padahal mereka memiliki resam basi yang munkar, mempunyai adat istiadat yang keji, mempunyai kebiasaan yang buruk, mereka pandang halal sesuatu yang haram, mereka singkirkan sesuatu yang wajib.

Begitu duduk bersama dalam perkumpulan mereka, belum berseri perkumpulan itu kalau yang menghidangkan minuman bukan perempuan cantik, dan kalau minuman yang dihidangkan bukan dicampur alkohol. Bila datang waktu shalat mereka enggan bangun dari tempat duduknya, karena takut dituduh fanatik pada agama. Akan lebih gembira bila kita turut duduk di situ  sampai tuntas. Untuk itu kita harus tinggalkan keridhaan tuhan dan memilih laknatnya, lantaran mencari keridhaan manusia.

Adalah sebuah kesia-siaan memilih keridhaan manusia, padahal jalannya bengkok dan tidak tentu ujungnya. Lantaran jalan itu tak begitu sukar dijalani, maka ditempuhnya juga, sehingga dia lupa jika ujung jalan itu buntu. Sia-sia orang yang meninggalkan jalan Tuhan. Lantaran pada permulaan jalan itu kelihatan sukar ditempuh, dia mengelak, dia tak percaya bahwa ujung jalan itu adalah kebahagiaan. Janganlah ridha manusia yang kita pilih, dan ridha Allah yang kita tinggalkan, karena di tangan-Nya-lah terpegang segala kekuasaan; firman Allah dalam surat ‘Ali ‘Imran 26.

“Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Mengapa kita mengambil muka (simpati?) kepada manusia, padahal mereka pun hamba seperti kita adanya, mereka pun lemah tidak berdaya, tak dapat menolong dirinya sendiri, usahkan menolong orang lain, mengapa kita tidak sadar akan kekuasaan Khalik, padahal di tangan-Nya ada hidup dan mati.

Orang mungkin akan bekerja dengan ikhlas mencari ridha Tuhan, walaupun harus kehilangan kesukaan manusia. Ditanyainya hatinya sendiri, adakah perbuatan ini disukai Tuhan, kalau hati itu menjawab bahwa Tuhan memang suka, lantas dikerjakannya, walaupun manusia mencelanya. Tidak dipedulikannya sorak-sorai masyarakat, karena yang akan berbekas pada dirinya hanya semata-mata hukum Tuhan juga, yang semuanya telah tertulis lebih dahulu, tidak kuasa tangan manusia mengubahnya.

Dunia manusia terbatas, akhirat Tuhanlah yang kekal. Kita tidak mencari yang fana’, dan meninggalkan yang baqa’. Kita tidak bersujud, bersimpuh, berlutut di hadapan manusia, kalau sekiranya dibalik itu berdiri adzab dan siksa Allah. Kita tidak mengharapkan itu karena kita berpulang kepada Tuhan hanya dengan tiga lapis kafan jua.

Berapa banyak kerugian yang menimpa bangsa kita, bertapa banyak yang jatuh ke lubang kemiskinan, lantaran mencari keridhaan manusia. Demi mencari keridhaan manusia bila ada seorang saudara atau anak yang mati, diadakan kenduri besar-besaran, bahkan lebih dari kesanggupan dirinya. Dipakai pepatah “tidak kayu jenjang dikeping, tidak emas bungkal diasah”, uang habis, sawah tergadai, ladang terjual, hanya untuk biaya kenduri dan menjamu tamu. Tapi kalau badan telah jatuh melarat, tidak seorang pun yang dijamu tadi yang sanggup menolong, mereka hanya menggelengkan kepala dan berujar “kasihan dia”. Dapatkah geleng kepala orang lain menolong harga dan uang yang telah ludes itu.

Dalam perkawinan diadakan perhelatan besar-besaran, katanya untuk mencukupkan persyaratan adat-istiadat, atau agar dianggap sebagai orang terpandang. Untuk itu mereka telah mubazir membuang-buang harta tidak berketentuan. Lantaran dianggap sebagai “memegang adat-istiadat” dia pun memilih apa yang dikatakan al-Qur’an “ikhwanu syayathin”-“saudara syaithan”.

Banyak contoh yang kita lihat sehari-hari tentang nasib tragis orang-orang yang telah mengutamakan ridha manusia daripada ridha Allah itu. Oleh karena itu, wajiblah bagi kita mencegah meluasnya sifat-sifat itu dan menyadarkan mereka lupa diri dan mendurhakai Tuhan.  Katakan apa yang terasa kepada umum, mereka terima atau tidak, asal kita yakin bahwa kita tidak berlaku kasar, tunjukkan mana kepincangan kepada masyarakat. Seorang dokter membedah pasiennya ialah mengharapkan kehidupan pasien itu, bukan lantaran hendak membunuhnya.

Pekakan telingamu mendengar cela dan makian mereka, pakai pepatah orang Arab;

“Biarkan aku mengatakan apa yang terasa. Kemudian itu beri engkau beri kepada saya dengan nama yang engkau sukai. Saya tidak pemarah, sikap saya lapang dada. Cuma dhamir, Cuma kemanusiaan juga yang tidak dapat saya jual, cobalah katakan padaku atas nama Allah adakah manusia yang sudi menjual kemanusiaannya, menjual keagungan dan kehormatannya?”

Alamat  iman yang benar adalah mempertahankan kebenaran. Berikan nasihat yang suci kepada sesama Islam. Untuk itu kita harus berani menempuh korban, yaitu kebencian dan kemarahan orang karena kebodohannya.

Kalau yang kita cari hanya ridha, atau kesukaan manusia, niscaya akan membuat kita bingung. Sebab setiap orang memiliki pikiran dan kesukaan yang berlainan. Sebab itu, serahkan diri kepada Tuhan, teguhkanlah pendirian, dan jangan gantungkan diri pada kehendak manusia. Dengan menyerahkan diri kepada Allah, kita bekerja mengajak manusia ke jalan yang benar.

Marilah kita menjadi “dukun”, kita urut uratnya yang terkilir, walaupun dia menjerit supaya dia lekas sembuh. Mari kita marahi dia alamat cinta kita, “kasih di anak dipetangis, kasih di kampung ditinggalkan”.

Biarkan dia mencela dan memaki hari ini, biarkan ini, biarkan mereka memandang kita musuhnya, tetapi kita ini adalah shahabatnya. Setelah kita hilang dari matanya, mereka akan mencari kita kembali, mereka akan menanyakan manakah dukun yang ahli urut itu? Bertahanlah pada kesakitan yang pertama, untuk kemenangan yang kedua, dan jangan lupa, tanyai hatimu, dan tanyai Tuhanmu. Sudahkah teguh hatimu, sudahkah ridha Tuhanmu? Kalau sudah, “Bismillahi wa ‘ashamtu billahi, wa tawwakaltu ‘alaihi”.


artikel majalah Panji Masyarakat no. 654, 28 Dzulhijjah 1410 H, 21-31 Juli 1990  disunting ulang via Depok Islamic Study Circle Masjid Ukhuwwah Islamiyah Universitas Indonesia


 

Berbagi Informasi

Leave a Reply

Your email address will not be published.